AESENNEWS.COM - Tidak bisa dipungkiri bahwa tanah kapan saja bisa berubah hak kepemilikannya entah itu karena dijual, hibah atau pembagian warisan kepada keluarga/anak-anak dari orangtua, namun dalam hal ini fokus kita adalah kepada permasalahan yang terjadi karena hak atas tanah yang berpindah dan berubah karena ada kesepakatan antara kedua belah pihak dengan skema jual-beli atas tanah tersebut. didalam pertahanan banyak sekali persengketaan yang terjadi ketika memutuskan untuk membeli sebuah tanah entah sertipikat yang double, sertipikat palsu, tanah tidak sesuai dengan di sertipikat, bahkan adanya seorang mafia tanah yang mengakibatkan terjadinya sebuah perselisihan dalam pertanahan, hal ini masih sering terjadi diindonesia terkhususnya diwilayah yang notabene tanahnya mengalami peningkatan harga yang signifikan. Dari penelaahan atas Kasus diatas yang bersumber dari www.ekonomi.bisnis.com mengingatkan kita agar terus memahami proses jual beli tanah yang legal dan sah secara hukum agar dikemudian hari tidak mendapatkan sebuah persoalan yang mengakitbatkan persengketaan. Hal tersebut selaras Seperti yang dikatakan oleh Supardi Marbun direktur sengketa konflik wilayah 1 ATR/BPN perlunya masyarakat memahami lima hal jika melakukan jual beli tanah diantaranya sebagai berikut :
a.
Memastikan
keabsahan Sertipikat di BPN.
b.
Membuat AJB
di kantor PPAT.
c.
Jka pembelian
menggunakan Uang muka maka wajib dilakukan dihadapan Notaris dengan membuat
PBJB (Pengikatan Perjanjian Jual Beli) dan isi sesuai dengan Pasal 1870 KUH
Perdata.
d.
Jika penjual
sudah menikah diharuskan membuat surat persetujuan suami istri.
e.
Penjual harus
membayar Pph (Pajak Penghasilan).
Penjual harus membayar pajak penghasilan (PPh) dengan
ketentuan sebagai berikut Pajak Penjual (PPh) = Harga Jual x 2,5 %, Pajak
Pembeli (BPHTB) = {Harga Jual – Nilai Tidak Kena Pajak} x 5%, Pembeli dan
Penjual kemudian juga membayar pembuatan AJB di PPAT yang pada umumnya akan
ditanggung bersama atau jika kedua belah pihak bersepakat ditanggung oleh salah
satu pihak yang nilainya maksimal 1% dari harga transaksi tanah.
1.
Mengapa
proses jual beli tanah harus dibuktikan dengan AJB di PPAT?
Sebelum langsung kepada tujuan utama kenapa jual-beli
tanah harus dibuktikan dengan AJB (Akta Jual Beli Tanah) sebelum itu maka kita
perlu mengetahui dasar hukum yang menjadi tolak ukur kenapa hal tersebut
penting dan harus dilakukan, sangat jelas bahwa Sangat penting bagi kita ketika
melakukan jual-beli tanah agar dilegalkan secara hukum melalui PPAT karena hal
tersebut sudah diatur didalam KUH Perdata, UUPA No 5 Tahun 1960 dan PP No 24
Tahun 1997 tentang pendaftaran pertanahan. Dari ketiganya menjelaskan bahwa
masing-masing sebagai berikut ini:
A.
Yang menjadi
dasar hukum utama dalam jual beli-tanah adalah didalam KUH Perdata pasal 506 yang mana didalamnya mengatur benda-benda yang
dimasukan didalam kategori tidak bergerak diantaranya sebagai berikut ini:
a.
Tanah dan
yang ada diatasnya
b.
Pohon,
tanaman, dan segala yang menancap di atas tanah maupun didalam tanah.
c.
Pipa saluran
air yang digunakan dirumah tersebut atau tertanam di bangunan atau tanah
tersebut.
d.
Kayu belukar
dari hutan tebangan.
e.
Batu baram
sampah dan sebagainya.
Dalam
undang-undang KUH Perdata jual-beli diwajibkan harus mendasar pada persetujuan
yang sifatnya mengikat antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi
jual-beli tanah. Hal tersebut diatur didalam Pasal 1320 KUH Perdata :
a.
Kesepakatan
antara keduanya.
b.
Kecakapan
membuat perikatan.
c.
Suatu pokok
persoalan tertentu.
d.
Suatu sebab
yang tidak terlarang.
B.
PP No 24
Tahun 1997.
a.
Pasal 1 ayat
1 “Pendaftaran tanah merupakan kegiatan yang dilakukan oleh badan Pemerintah yang dilakukan secara terus
menerus, berkesinambungan dan
teratur, yang didalamnya meliputi berbagai aspek pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan
data fisik dan data yuridis, entah
itu dalam bentuk peta dan daftar, serta didalamnya termasuk pemberian hak atas
miliknya yang sah secara hukum”.
b.
Pasal 2 ayat
1 menjelaskan bahwa tujuan utama dari Pendaftaran tanah
dilaksanakan berdasarkan kepada asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka. Hal tersebut dilakukan untuk dapat terpenuhinya hak
atas kepemilikan suatu tanah oleh masyarakat.
c.
Pasal 3 ayat
1 “pendaftaran tanah bertujuan untuk memberikan kepastian
hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah,
satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan”.
d.
PP No 37
Tahun 1998 Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut
PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta
otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun. Selanjutnya, untuk
membuat perjanjian jual beli tanah, tidak bisa dipenuhi hanya oleh dua pihak
antara penjual dan pembeli saja. Melainkan
keduanya perlu dibimbing oleh pejabat negara, dalam hal ini Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT). Kewenangan PPAT
berdasarkan PP No. 37 Tahun 1998 adalah membuat akta-akta otentik terkait
perbuatan hukum tertentu yang berkaitan dengan hak atas tanah. Namun, PPAT
tidak dapat ditemukan di semua wilayah atau daerah. Jadi untuk kamu yang
tinggal di daerah yang belum memiliki PPAT, pembuatan akta jual beli dapat
dibantu oleh camat setempat yang berperan sebagai PPAT sementara. Hal ini
sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) pada PP yang sama.
C.
UU No 5 Tahun
1960.
Untuk dasar hukum yang ketiga adalah mengacu kepada UU
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau kita lebih
mengenalnya dengan istilah UUPA. Peraturan ini sendatinya lebih menyoroti peraturan tentang hak kepemilikan atas tanah. Hal
tersebut dapat terlihat di dalam Pasal 16 ayat 1 UUPA ini, dengan begitu
hak-hak atas tanah dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, di antaranya adalah
hak milik, hak guna-usaha, hak
guna-bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil
hutan,Sementara itu, hak-hak lain yang tidak terdaftar dalam hak-hak tersebut
yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Termasuk didalamnya terdapat hak-hak
yang sifatnya sementara sesuai yang tertera dalam pasal 53 UUPA.
Dari pemaparan diatas yang menjadi
dasar perundang-undangan yang mengatur tentang transaksi jual-beli tanah dan administrasi pertanahan diatas maka hal
yang paling terpenting dan paling disoroti adalah segala sesuatu yang sifatnya transaksi
jual-beli tanah maka harus dibuktikan dengan adanya Akta Jual Beli Tanah atau
yang kita kenal AJB dan hal itu dilakukan dihadapan Notaris PPAT (Pejabat
Pembuat Akta Tanah) oleh kedua belah pihak yakni penjual dan pembeli. Lalu
mengapa jual-beli tanah harus dilakukan di hadapan notaris dan dibuktikan
dengan adanya AJB di PPAT? Hal ini menjadi menarik jika kita membahasnya dan
hal yang membuat pentingnya membuat AJB dalam jual beli tanah adalah melihat
dari fungsi dan manfaat dari AJB itu sendiri diantaranya dibawah ini :
a.
Pengertian
AJB atau akta jual beli tanah merupakan sebuah
dokumen yang berupa akta yang didalamnya mencatat sebuah transaksi jual beli
tanah dan dibuktikan secara tertulis dan memiliki kepastian hukum.
b.
Fungsi Akta
Jual Beli.
1.
Adanya bukti
transaksi jual beli hak atas tanah dengan kesepakatan yang sudah disepakati antara
kedua belah pihak secara tertulis.
2.
Kedua belah
pihak memiliki kewajiban dari setiap masing-masingnya dalam proses jual beli
tanah tersebut.
3.
Jika salah
satu tidak memenuhi kewajibannya maka akta jual beli tanah tersebut dapat
digunakan sebagai bukti untuk menuntut kewajiban dikemudian hari oleh yang
bersangkutan.
4.
Adanya
kepastian/kekuatan hukum yang ditulis secara apik.
5.
Meminimalisir
kerugian pembeli jika dikemudian hari ada yang menggugat kesepatan tersebut.
6.
Sebagai bukti
perkara apabila dikemudian hari salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban.
7.
Sebagai tanda
bukti sah atas transaksi jual beli tanah tersebut.
Dari point-point fungsi dari Akta
Jual Beli Tanah memang banyak sekali manfaatnya salahsatunya adalah adanya
bukti yang konkrit terkait jual-beli tanah dan memiliki kepastian hukum yang
jelas sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mengapa hal ini menjadi
penting hal itu didasari bahwa AJB adalah salah satu langkah paling utama sebelum
kita membeli sebuah tanah, karena dokumen tersebut menunjukan bahwa transaksi
jual beli tanah tersebut dilakukan secara sah dan sesuai dengan undang-undang
yang berlaku dan menjadi bukti yang kuat jika suatu saat nanti terjadi perkara.
Masyarakat indonesia masih gelap mengenai akta jual beli tanah terkhususnya
didaerah pedesaan yang notabene jauh dari PPAT atau Notaris, misalnya saja
didaerah saya adapun notaris hanya letaknya sangat jauh yakni sekitar 30-40 Km
dari rumah, bukan hanya itu saja kendala lain adalah kurangnya pemahaman
kesepakatan jual beli tanah yang dilakukan dipedesaan mungkin karena kurangnya
sosialisasi atau juga kurangnya pemahaman akan peraturan perundang-undangan
yang mengatur pertanahan tersebut. masih banyak masyarakat yang hanya membuat
kesepakatan jual beli tanah hanya menggunakan Kwitansi yang keduanya saling
menandatangani dan ada saksi-saksi didalamnya, namun menurut saya ini memang benar
namun jika dilakukan di PPAT jauh lebih baik. Beberapa kali saya menemukan
transaksi jual beli tanah yang dilakukan oleh masyarakat didaerah saya ada yang
mengurus hingga AJB namun tidak diurus untuk balik nama atas sertipikat tanah
tersebut mungkin karena menimbang beberapa alasan yang membuatnya tidak
mengurusnya. Padalah pada dasarnya adalah bukti yang sah secara hukum bukan
hanya mentok di AJB saja melainkan juga mengurus balik nama menjadi nama
pemegang utama yakni pembeli atas tanah tersebut karena bagaimapun juga
sertipikat hak milik adalah bukti terkuat kepemilikan hak atas tanah tersebut
dan AJB hanya pendukung sebagai tanda bukti adanya transaksi jual beli tanah
yang di saksikan dan dicatat oleh PPAT.
Yang menjadi paling terpenting mengapa jual-beli
tanah harus dilakukan di kantor PPAT adalah karena menimbang banyak manfaat
dan fungsi yang kita dapatkan dari AJB yang dilakukan di PPAT hal tersebut
selaras dengan pemaparan yang sudah dijelaskan di atas dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yakni didalam KUH Perdata, UUPA No 5 Tahun 1960
dan PP No 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran pertanahan tentunya dengan prosedur
yang sesuai, banyak orang yang tidak melakukan dengan prosedur yang sesuai dan
akibatnya adalah tertipu oleh calo jika tidak diurus dengan tangan sendiri, AJB
yang tidak sah dan palsu, sendatinya kita wajib mengetahui PPAT yang terpercaya
didaerah tempat kita dan resmi terdaftar di ATR/BPN. Hal lain selain kita
memiliki manfaat kepastian hukum atas jual-beli tanah tersebut dalam dokumen
tersebut juga mencantumkan beberapa hal yang penting terkait transaksi
jual-beli tanah ataupun bangunan tersebut, yakni sebagai berikut ini:
a.
Adanya data
tanggal dan waktu.
b.
Adanya data
pribadi pihak penjual.
c.
Adanya data
pribadi pihak pembeli.
d.
Data otentik
mengenai tanah yang kita beli/jual (luas, lebar, lokasi dan harga).
e.
Adanya kop
surat yang resmi dari PPAT tersebut.
f.
Adanya
kesepakatan antara kedua belah pihak.
g.
Tanda tangan
kedua belah pihak yang diatasnya tertera sebuah materai, dan bukti tersebut sah
keabsahannya.
Lalu Mengapa proses jual beli tanah harus dibuktikan dengan AJB di PPAT? Hal tersebut
agar kita bisa :
a.
Terhindar dari permasalahan surat-surat yang palsu/bodong.
b.
Memiliki kepastian hukum atas hak tanahnya.
c.
Terhindar dari itikad yang tidak baik dari penjual.
d.
Mengetahui keseluruhan surat yang ada apakah
legal/tidak.
e.
Agar sesuai dengan peraturan pemerintah (PP) Pasal 37 ayat (1) Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.
f.
Mengetahui
data-data mengenai tanah yang kita beli dimana didalamnya ada (lokasi, jumlah
luas, lebar, dan panjang tanah, serta luas keseluruhan tanah, nama pemilik,denah
lokasi/titik koordinat tanah).
2.
Bagaimana implikasi hukum apabila proses jual beli
tanah tidak dilakukan di PPAT?
Seperti yang kita
ketahui dari pemaparan pada nomor satu yang mengacu kepada undang-undang yang
mengatur tentang pendaftaran pertanahan, yakni PPAT menjadi salah satu pejabat petugas
yang membantu masyarakat dalam transaksi jual-beli tanah secara legal yang
disahkan dan diakui oleh pemerintahan dan terdaftar di kementrian Badan
Pertanahan Nasional. Dan hal inilah yang
seharusnya menjadi tolak ukur masyarakat ketika melakukan jual-beli tanah agar
sah secara hukum karena PPAT diberikan wewenang sebagai pembuat akta tanah,
namun kenyataannya masih banyak masyarakat diindonesia khususnya diwilayah
daerah yang jauh dari kantor PPAT yang melakukan transaksi jual-beli tanah
tanpa dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan hal ini menilbulkan permasalahan
hukum pada saat pendaftaran peralihan hak atas tanah dan hal ini banyak kasus
yang terjadi dan akibatnya tanah sering menjadi persoalan yang membebani
pembeli dan terkadang hak-nya menjadi hilang. Yang sering terjadi dalam
lingkungan masyarakat adalah karena masyarakat tidak melalui prosedur peraturan
pemerintah (PP) Pasal 37 ayat (1) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang isinya adalah “ Peralihan hak atas
tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar,
hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya
kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat di daftarkan jika dibuktikan
dengan akta yang di buat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku“. Nah seharusnya masyarakat dapat memahami perundang-undangan
tersebut agar jual-beli tanah menjadi sah dan sesuai dengan aturan hukum yang
ada, namun kembali lagi kepada masyarakat itu sendiri terkadang masyarakat
ingin hemat dan praktis, meninjau dua hal
tersebut maka yang menjadi alasan utama masyarakat
indonesia tidak melakukan transaksi dan di hadapan PPAT dan membuat AJB
diantaranya :
a. Masalah biaya.
Hal ini menjadi
lumrah karena seperti yang kita ketahui bahwa membuat AJB dan melakukan transaksi
dihadapan PPAT akan memakan biaya sekurang-kurangnya 1% - 2,5% dari harga tanah
yang sudah disepakati kedua belah pihak. Hal tersebut membuat masyarakat melakukan
transaksi tidak melalui PPAT, namun hal tersebut memang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan memiliki resiko yang tinggi jika salah satu pihak
memanfaatkan dan adanya sebuah itikad tidak baik.
b. Waktu/Proses.
Seperti yang sudah
disinggung di atas bahwa masyarakat indonesia lebih suka dengan sesuatu yang
instant, proses cepat, dan tidak ingin ribet. Hal tersebut menjadi dasar kedua
bahwa pengurusan jual-beli tidak dilakukan di PPAT, karena memang pada dasarnya
memerlukan waktu dan tahapan-tahapan yang panjang dalam prosesnya misalnya saja
mengurus kelengkapan surat dll.
Nah dari kedua hal
tersebut menjadi landasan utama mengapa masyarakat indonesia tidak melibatkan
PPAT dalam proses jual-beli tanah yang dilakukannya, namun jika melihat
Peraturan perundang-undangan memang tidak sesuai, namun apa daya jika memang
tidak ingin ribet dan tidak terkendala biaya, dan resikonya adalah dikemudian
hari mungkin saja menjadi permasalahan yang justru malah menghabiskan dana
untuk mengurusnya atau malah justru kehilangan tanah tersebut dan menjadi
sebuah kerugian yang besar bagi pembeli.
Nah jika kita melihat pemaparan diatas maka perlu kita pahami bahwa Bagaimana
implikasi hukum apabila proses jual beli tanah tidak dilakukan di PPAT?.
Jika kita tidak melakukan proses jual beli tanah
tanpa melibatkan PPAT hal tersebut justru sangat tidak sejalan dengan peraturan pemerintah (PP) Pasal 37
ayat (1) Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah dan PP No 37 Tahun 1998 tentang “Pejabat
Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT... ” maka bisa saja tidak ada jaminan kabsahannya dan mungkin saja bisa
terjadi permasalahan dikemudian hari yang akan dialami oleh pembeli tanah
tersebut. Jika kita tidak melakukan sebagaimana yang diatur didalam perundang-undangan
tersebut kita tidak bisa disebut sebagai seseorang yang melakukan sebuah pelanggaran
dan kemudian mendapatkan sanksi namun
hal tersebut dapat dikatakan bahwa transaksi tersebut dinyatakan tidak sah
secara hukum, hal tersebut termuat didalam Pasal 43 dan 44 Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961. Pasal-pasal tersebut diadakan bertujuan untuk dapat
melakukan proses jual-beli tanah di PPAT.
Di dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor
5 tahun 1960 menjelaskan bahwa,
jual beli hak
atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan
dihadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT). Jadi dengan demikian bahwa jual beli Hak Atas Tanah harus dilakukan
di hadapan PPAT. Hal
tersebut digunakan
sebagai bukti bahwa telah
terjadi suatu jual beli
Hak Atas Tanah, dan selanjutnya
PPAT membuat Akta Jual
beli tersebut. Hal ini tentunya berlandasan kepada ketentuan atas
dasar hukum, yaitu Pasal
1868 KUH Perdata yang menerangkan
bahwa ”Suatu
Akta Otentik ialah suatu
akta yang di
dalam bentuk yang ditentukan oleh perundang-undangan dan dibuat
oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk
itu di tempat mana akta
dibuatnya. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dibuat oleh
pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri Dalam Negeri. Jadi,
yang membuat akta jual
beli itu adalah Pejabat Umum”.
Dari pemaparan diatas dapat kita rangkum
secara menyeluruh bahwa jika kita tidak melakukan proses jual beli tanah
didahapan PPAT dan tidak membuat Akta Jual Beli Tanah (AJB), Kita tidak
melanggar sesuatu yang bertentangan dengan hukum dan mendapatkan akibat sanksi
pidana melainkan jual beli tanah tersebut dianggap tidak sah secara hukum karena
tidak dilakukan melalui PPAT sebagai pejabat yang berwenang. Dengan begitu maka
Implikasinya adalah :
a.
Jual beli
tanah tidak sah.
b.
Jika dalam
kasus persidangan yang mempermasalahkan persengketaan tanah yang dibeli maka
hakim dapat memutuskan jual-beli tersebut cacat hukum.
c.
Perjanjian
yang dilakukan secara bawah tangan tidak berlaku di persidangan/secara hukum.
d.
Tidak
memiliki kepastian hukum (lemah hukum).
e.
Rentan terhadap
itikad yang tidak baik.
f.
Sering
terjadinya tindakan manupulatip yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Kesimpulan :
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memang menjadi salah satu pejabat yang
diberikan wewenang untuk mengurus keperluan terkait legalitas pertanahan oleh
pemerintah hal itu tertuang didalam peraturan pemerintah (PP) Pasal 37 ayat (1)
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah dan PP No 37 Tahun 1998 tentang “Pejabat Pembuat
Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT...
”. saat ini masih banyak masyarakat yang memang ketika melakukan sebuah
transaksi jual-beli tanah kebanyakan tidak dilakukan dihadapan PPAT melainkan
dibawah tangan yakni antara keduabelah pihak, hal inilah yang membuat sumber
utama dari permasalahan persengketaan terkait pertanahan. Hal tersebut bukan sepenuhnya
masyarakat tidak memahami melainkan karena ada faktor lain yang membuat
jual-beli tanah tidak dilakukan di PPAT yakni ingin hemat, dan tidak ribet, dari kedua hal ini lah yang dapat menyita
waktu dan uang membuat masyarakat memalingkan dari peraturan perundang-undangan
yang ada yakni peraturan pemerintah (PP) Pasal 37 ayat (1) Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah. Sehingga
proses jual beli-tanah tidak sesuai dengan perundang-undangan tersebut dan
akhirnya menimbulkan permasalahan dikemudian hari yang dapat merugikan pembeli.
Sumber referensi :
1.
https://jdih.bumn.go.id/lihat/PP%20Nomor%2024%20Tahun%201997
4.
https://pindahlubang.com/9874-biaya-ajb-notaris/