AESENNEWS.COM, KUDUS - SABTU (31 Mei 2025) — Sabtu malam Ahad, suasana khidmat menyelimuti rumah gebyok milik KH. Nusron Wahid di Desa Mejobo, Kudus. Ribuan jamaah dari berbagai kalangan memenuhi pelataran rumah kayu berarsitektur Jawa klasik itu dalam rangka mengikuti Pengajian Rutin Selapanan Majelis Gebyok yang sekaligus menjadi momen Haul ke-6 KH. Maemoen Zubair, ulama karismatik yang dikenal luas sebagai penjaga warisan Ahlussunnah wal Jama'ah di Nusantara.
Acara yang dimulai selepas Maghrib ini dihadiri oleh banyak tokoh penting dari berbagai lapisan masyarakat. Di antaranya tampak hadir perwakilan dari unsur Forkopimda Kabupaten Kudus, jajaran pejabat sipil dan militer, ulama lintas daerah, para habib, dan juga masyarakat umum. Bahkan seorang Marsekal Bintang Tiga dari Tasikmalaya dan Ajengan terkemuka dari Jawa Barat turut hadir,dan tak lain juga mantan Bupati Kudus Bpk. Hartopo juga ikut hadir dalam memperlihatkan luasnya jejaring dan kecintaan umat kepada figur KH. Maemoen Zubair atau yang akrab disapa Mbah Moen.
Mengaji Kitab Karya Ulama Besar Mekkah
Dalam kesempatan tersebut, kitab “Mafahim Yajibu An Thusohhah” karya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, ulama besar Mekkah yang juga guru dari banyak ulama Nusantara, menjadi bahan kajian utama. Pengajian kitab ini dipimpin langsung oleh DR. KH. Abdul Ghofur Maemun Zubair, putra KH. Maemoen Zubair yang dikenal memiliki kedalaman ilmu dalam bidang tafsir dan aqidah.
Kitab ini membahas pelurusan terhadap berbagai kekeliruan pemahaman dalam agama, terutama yang berkaitan dengan tauhid, sifat Allah, dan kedudukan para wali serta ulama. Dalam pengajian tersebut, disampaikan pula bahwa banyak kelompok yang secara tidak sadar telah memelintir ajaran para ulama salaf karena memahami teks agama secara tekstual tanpa menyelami makna dan maqashid-nya.
Habib Muhammad bin Husain Al Habsyi: “Allah Ada Tanpa Tempat”
Salah satu momen paling kuat dalam pengajian ini datang dari tausiyah Habib Muhammad bin Husain Al Habsyi dari Solo. Dalam sesi khusus yang disiapkan untuk menyampaikan pokok-pokok aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah, beliau menegaskan bahwa:
> “Allah ada tanpa tempat. Allah tidak membutuhkan ruang dan arah. Allah tidak duduk di atas Arsy sebagaimana makhluk duduk. Ini aqidah yang disepakati ulama Ahlussunnah, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Al-Asy’ari, dan lain-lain.”
Pernyataan ini langsung disambut oleh takbir para hadirin. Banyak di antara mereka mengaku merasa tercerahkan, terutama di tengah maraknya dakwah-dakwah di media sosial yang mempopulerkan pemahaman antropomorfik terhadap Allah.
Habib Muhammad juga mengutip beberapa pernyataan ulama klasik yang secara tegas menyatakan bahwa berkeyakinan Allah berada di tempat atau arah tertentu adalah bentuk tajsim (penyerupaan dengan makhluk) yang tidak layak bagi Dzat Yang Maha Suci.
> “Allah itu ada sebelum adanya langit, Arsy, atau kursi. Ketika semua itu belum ada, Allah sudah ada. Maka tidak logis kalau Allah butuh tempat. Yang butuh tempat adalah makhluk, bukan Khaliq,” tegasnya.
Dari Kudus untuk Dunia: Dakwah Cinta dan Intelektualisme
KH. Muhammad Idror Maemoen Zubair, putra Mbah Moen lainnya, turut memberikan wejangan tentang pentingnya menjaga sanad keilmuan, memahami agama dengan akal dan hati, serta meneruskan perjuangan ulama dengan penuh cinta. Beliau juga menegaskan bahwa pengajian seperti ini bukan sekadar haul seremonial, melainkan ajang transmisi ilmu dan aqidah yang otentik.Beliau menceritakan bahwa pada masa hidupnya Mbah Moen berpesan dalam ber kepimpinan harus ada berkesinambungan, karna itu mesti terjadi.Yang nota bene Bpk. Prabowo S. melanjutkan dan meneruskan estafet pada presiden sebelum nya yaitu Bpk. Joko widodo, pungkasnya.
KH. Nusron Wahid selaku tuan rumah menyampaikan rasa syukur dan haru atas kelangsungan majelis selapanan ini. Beliau menyebut acara ini sebagai “cahaya tengah zaman” yang menjadi pengikat antara umat, ulama, dan nilai-nilai luhur warisan Mbah Moen.
> “Kita tidak bisa membayar jasa Mbah Moen, tapi kita bisa menjaga ilmunya tetap hidup. Di rumah gebyok ini, kita semua adalah santri,” ujarnya sambil menahan haru.
Penutup: Tradisi yang Mencerahkan
Acara ditutup dengan pembacaan doa dan tahlil untuk almarhum KH. Maemoen Zubair serta para ulama pendahulu. Suasana haru bercampur semangat menyelimuti pelataran rumah gebyok. Lantunan rebana dari Group Rebana Addufuf Al Ma’wa Mejobo Kudus semakin memperindah malam penuh makna ini.
Acara yang disiarkan secara live streaming oleh channel Nusantara Satu Kudus ini menjadi bukti bahwa semangat keilmuan, cinta kepada ulama, dan ghirah Ahlussunnah wal Jama'ah tetap membara di tengah arus zaman.
Reporter: @Kuswadi-Kudus