-->

PJ Bupati Purwakarta

#'

no-style

Apakah menurut Saudara, UU ITE sudah cukup mengatasi permasalahan-permasalahan hukum yang timbul sebagai akibat dari aktivitas manusia dalam ruang siber (cyber space). Berikan contoh

AESENNEWS.COM
Wednesday, October 4, 2023, 10:24:00 PM WIB Last Updated 2023-10-04T15:24:28Z
AESENNEWS.COM, Internet telah membawa dampak yang cukup besar bagi masyarakat dunia dengan membawa konsep global village, manusia dapat terkoneksi satu dengan yang lainnya tanpa adanya batasan baik ruang maupun waktu. Berdasarkan data dari hasil penelitian situs We Are Social, setidaknya pengguna internet menghabiskan rata-rata sekitar 4 jam 42 menit untuk mengakses internet di PC atau tablet dalam sehari.
 Sementara untuk pengguna ponsel, rata-rata waktu yang digunakan lebih sedikit ketimbang di PC atau tablet dengan hanya menghabiskan waktu  rata-rata 3 jam 33 menit untuk mengakses internet dalam sehari. We Are Social juga memaparkan di Indonesia terdapat 88,1 juta pengguna aktif internet  dan didalamnya sekitar 79 juta merupakan pengguna aktif social media, sehingga 30 persen penduduk Indonesia menjadi pengguna aktif media sosial.
Maka karena itu, Pemerintah perlu meningkatkan wacana yang dapat memperbaiki pembangunan internet sesuai dengan kehendak masyarakat selaku pengguna internet, terutama pada ketersediaan infrastruktur maupun perangkat operasionalnya dan dapat mengatur setiap kemungkinan masalah yang terjadi di Internet.
 Implementasi kebijakan publik diharapkan dapat berperan besar kepada pengembangan internet di Indonesia sehingga dapat direalisasikan dengan sebaik baiknya. Salah satu bentuk kebijakan pemerintah yaitu Ius Konstituendum, yang memiliki pengertian secara umum yaitu Undang-Undang yang diharapkan sebagai perangkat hukum yang mengakomodir tuntutan perkembangan teknologi serta antisipasi terhadap permasalahan-permasalahan yang bisa ditimbulkan, termasuk dampak negatif penyalah gunaan Internet dengan berbagai alasan yang dapat menimbulkan korban baik itu kerugian materi mapun non materi.

Salah satu kebijakan penting lainnya yaitu Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang Undang nomor 11 tahun 2008 atau UU ITE adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. UU ITE yang diberlakukan sejak bulan April  tahun 2008, ini memang merupakan terobosan bagi dunia hukum di Indonesia, karena untuk pertama kalinya dunia maya di Indonesia mempunyai perangkat. Karena sifatnya yang berisi aturan main di dunia maya, UU ITE ini juga dikenal sebagai Cyber Law.

    Bila dilihat dari konten UU ITE, semua hal penting sudah diakomodir dan diatur dalam UU tersebut. UU ITE sudah cukup komprehensif mengatur informasi elektronik dan transaksi elektronik. Mari kita lihat beberapa cakupan materi UU ITE yang merupakan terobosan baru. UU ITE yang mana mengakui Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tandatangan konvensional (tinta basah dan materai), alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHAP, 

Undang-undang ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di Indonesia. Penyelesaian sengketa juga dapat diselesaiakan dengan metode penyelesaian sengketa alternatif atau arbitrase. Setidaknya akan ada sembilan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana UU ITE, sehingga UU ini dapat berjalan dengan efektif.

       Disisi lain  kita tahu maraknya carding atau pencurian kartu kredit di internet berasal dari Indonesia. Dengan hadirnya UU ITE, diharapkan bisa mengurangi terjadinya praktik carding di dunia maya. Dengan adanya UU ITE ini, para pengguna kartu kredit di internet dari negara kita tidak akan di-black list oleh toko-toko online dari luar negeri. Sebab situs-situs seperti www.amazon.com selama ini masih mem-back list kartu-kartu kredit yang diterbitkan Indonesia, karena mereka menilai kita belum memiliki cyber law. Nah, dengan adanya UU ITE sebagai cyber law pertama di negeri ini, negara lain menjadi lebih percaya atau trust kepada kita.

Walaupun UU ITE sudah diberlakukan dimasyarakat, ternyata masih belum dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Salah satunya buktinya berkaitan dengan kasus yang sedang viral dimasyarakat yaitu beredarnya konten-konten pornografi dimedia internet. Padahal sudah ada kebijakan publik yang melarang individu menyebarluaskan pornografi. Kebijakan itu berupa UU No 11/2008 yang lebih dikenal dengan UU ITE. Pasal 27 ayat 1 UU tersebut memberikan sanksi bagi siapa saja yang menyebarluaskan pornografi.

       Persoalan yang kemudian muncul, pengawasan atas pelaksanaan UU ITE hampir tidak terlaksana. Beberapa pihak yang menyebarluaskan pornografi lewat warung internet, misalnya, tidak pernah ditindak. Mereka yang menyebarluaskan pornografi melalui VCD juga tidak mendapatkan sanksi. Jika dilihat dari dampak yang ditimbulkan pornografi sangat merusak moral masyarakat terutama bagi anak-anak, bayangkan saja sudah berapa banyak kasus  tindakan asusila yang dilakukan anak dibawah umur akibat dari pengaruh menonton konten-konten pornografi dari media internet.

       Langkah pemerintah dengan memblokir situs-situs bermuatan pornografi saja dirasa belum cukup karena masih banyak situs pornografi lainnya yang selalu muncul setiap harinya di media internet. Pemblokiran situs lainnya terjadi pada awal tahun 2015, Kominfo melakukan pemblokiran terhadap 22 situs media Islam yang dianggap mengajarkan paham radikal, atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Namun tindakan ini, menimbulkan beragam sikap pro dan kontra ditengah masyarakat.

Pemblokiran ini dinilai sejumlah pihak telah mengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Menurut Menteri Kominfo Rudiantara, aturan yang dimaksud merupakan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Pasal itu melarang setiap orang menyebarkan informasi yang bertujuan menimbulkan kebencian dan permusuhan antarindividu atau kelompok berdasarkan latar belakang suku, agama, ras maupun golongan.

        Pembatasan menyampaikan pendapat melalui media internet oleh beberapa kalangan pengguna dunia maya (netizen) dalam akun sosial media, terkadang selalu menuai kritik tajam dari berbagai macam kalangan bahkan hingga dapat berakhir keranah hukum. Contohnya kasus Florence Sihombing yang dianggap melakukan penghinaan  kepada warga Yogyakarta lewat status di media sosial path sehingga dijerat dengan pasal 27 UU ITE sehingga ditahan selama 20 Hari, yang kemudian memunculkan pendapat sebagian pihak terlalu berlebihan. Di sisi lain nasib baik masih berpihak kepada Muhammad Arsyad yang pernah dilaporkan karena melecehkan nama baik Presiden Jokowi melalui gambar yang diunggahnya ke sosial media sehingga Arsyad dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 29 Juncto Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Pasal 310 dan 311 KUHP, Pasal 156 dan 157 KUHP, dan Pasal 27, 45, 32, 35, 36, 51 UU Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE. 

tetapi tidak berujung ke ranah hukum karena adanya penangguhan. Hal ini juga dapat membuktikan bahwa masyarakat sendiri juga belum memiliki kesadaran untuk memanfaatkan internet sebagai media mengekspresikan gagasan dengan bijaksana, termasuk juga dalam memilah konten-konten dimedia Internet mana yang bermanfaat maupun tidak. Maka dapat dikatakan, UU ITE belum dapat merubah pola masyarakat dalam melakukan transaksi elektronik yang baik.

   Implementasi UU ITE bukanlah proses yang sederhana, tetapi sangat kompleks dan rumit serta merupakan proses yang berlangsung secara dinamis. Misalnya yang kita ketahui dalam Bab VII UU ITE disebutkan: Perbuatan yang dilarang pasal 27-37, semua Pasal menggunakan kalimat, ”Setiap orang… dan lain-lain.” Padahal perbuatan yang dilarang seperti: spam, penipuan, cracking, virus, flooding, sebagian besar akan dilakukan oleh mesin olah program, bukan langsung oleh manusia. Banyak yang menganggap ini sebagai suatu kelemahan, tetapi ini bukanlah suatu kelemahan. Sebab di belakang mesin pengolah program yang menyebarkan spam, penipuan, cracking, virus, flooding atau tindakan merusak lainnya tetap ada manusianya, the man behind the machine.

Sehingga kita tak mungkin menghukum mesinnya, tapi orang di belakang mesinnya. Mengacu pada pasal 27-37, hanya akan ditangkap ”Orang Yang Menyebar Virus.” Tapi tampaknya bukan pembuat virus. Logikanya sederhana, virus tak akan merusak sistem komputer atau sistem elektonik,  jika tidak disebarkan melalui sistem elektronik. Artinya, bahwa jika sampai virus itu disebarkan, maka si penyebar virus itu yang akan dikenakan pasal pidana. Tentu hal ini harus dibuktikan di pengadilan bahwa si penyebar virus itu melakukan dengan sengaja dan tanpa hak.

    Untuk saat ini pemerintah belum dapat melaksanakan seluruh aspek dalam UU ITE. Maka kita juga perlu waktu untuk melihat penegakannya nanti. Yang pasti, beberapa hal yang belum secara spesifik diatur dalam UU ITE tetapi nantinya diatur dalam Peraturan Pemerintah, juga peraturan perundang-undangan lainnya. Secara keseluruhan, UU ITE telah menjawab permasalahan terkait dunia aktivitas/ transaksi di dunia maya, sebab selama ini banyak orang ragu-ragu melakukan transaksi elektronik di dunia maya karena khawatir belum dilindungi oleh hukum. Hal yang paling penting dalam kegiatan transaksi elektronik, adalah diakuinya tanda tangan elektronik sebagai alat bukti yang salah dalam proses hukum. Jadi seluruh pelaku transaksi elektronik akan terlindungi.

     Maka Langkah paling awal yang bisa dilakukan pemerintah adalah berkolaborasi dengan akademisi dalam merancang suatu kebijakan. Lihat saja bagaimana Barack Obama menggunakan jasa para profesor ilmu perilaku demi keberhasilan implementasi peraturan. Malaysia pun sama., untuk kebijakan ekonomi tertentu misalnya Malaysia Koridor Utara dan Malaysia Koridor Barat, pemerintah bekerjasama dengan universitas – universitas lokal untuk memetakan perilaku masyarakat Malaysia di bagian semenanjung utara dan semenanjung barat. Sehingga para ahli perilaku dapat menjadi mitra kerja pemerintah dalam merencanakan kebijakan atau peraturan. Pemetaan kebiasaan, komposisi demografi, sejarah perilaku, dan perilaku pengambilan keputusan.

     Selain itu, sebelum membuat kebijakan, ada baiknya pemerintah melakukan eksperimen di luar uji publik. Melakukan eksperimen terlebih dahulu akan jauh lebih ekonomis daripada langsung menerapkan kebijakan publik. Lihat saja beberapa undang-undang yang ditetapkan pemerintah masih menuai kontroversi dimasyarakat.

Studi eksperiment sebelum membuat kebijakan adalah hal yang sangat jarang di lakukan pemerintah Indonesia. Penerapan kebijakan kadang-kadang terkesan memaksakan atau sekedar kepentingan politis segelintir orang. Singkatnya, studi eksperiment atas perilaku pengambilan keputusan penting untuk para pembuat kebijakan. Pemerintah harus mampu mengeluarkan usaha yang lebih, tidak terburu-buru apalagi berdasarkan kepentingan sesaat, politis, dan pribadi. Pemerintah harus lebih giat bereksperimen secara ilmiah terlebih dahulu untuk mempelajari perilaku masyarakat sebelum menerapkan peraturan. Sebab, kebijakan yang baik akan menciptakan kondisi Negara yang baik, tertib, dan maju.

   Secara umum masyarakat memandang UU ITE masih  hanya sebagai formalitas sesaat, yang mana peraturan dan perundang-undang yang disusun, hanya berlaku jika ada kasus yang mencuat. Dalam kehidupan sehari-hari baik masyarakat umum ataupun kaum terpelajar tidak sepenuhnya mematuhi atau mengindahkan UU ITE ini, terbukti dengan masih tingginya tingkat pelanggaran cyber, penipuan, ataupun pengaksessan situs porno. Maka dari itu sosialisasi UU ITE pada masyarakat juga memiliki peran penting. Seperti edukasi kepada masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan mengkampanyekan internet sehat lewat media, membagikan software untuk memfilter situs-situs bermuatan porno dan kekerasan
Komentar

Tampilkan

  • Apakah menurut Saudara, UU ITE sudah cukup mengatasi permasalahan-permasalahan hukum yang timbul sebagai akibat dari aktivitas manusia dalam ruang siber (cyber space). Berikan contoh
  • 0

Terkini

layang

.

social bar

social bar

Topik Populer

Iklan

Close x