Bandar Lampung - Sejumlah warga Desa Malang Sari, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Lampung Selatan melakukan aksi demonstrasi di Tugu Adipura, Bandar Lampung, Selasa 19/7/2022.
Aksi ini merupakan bentuk aspirasi warga dikarenakan adanya dugaan penyerobotan lahan yang dilakukan mafia tanah terhadap lahan milik warga setempat. Aksi tersebut diikuti dari berbagai warga, mulai dari tua sampai muda, wanita dan pria yang merasa lahan miliknya hilang.
Dalam aksi demo terdapat beberapa spanduk yang bertuliskan "sapu bersih mafia tanah", "Kami bukan turis di tanah kami", "bersih - bersih mafia tanah" bahkan "Pak Mentri Hadi ditunggu di Malang Sari".
Salah satu peserta aksi mengatakan, kedatanganya kali untuk menyampaikan aspirasinya, agar dapat didengar oleh pemerintah dan dapat menindak lanjuti tuntutan atas kuasa lahan yang telah dimiliki dan ditempatinya selama ini.
"Bagaimana bisa kami terima, ada orang datang tiba-tiba dengan menunjukkan sertifikat dan mengklaim itu miliknya, sedangkan lahan itu sudah kami kuasai puluhan tahun," ucap salah satu warga.
Sengketa tanah di Desa Malangsari, Kecamatan Tanjungsari, Lampung Selatan, tak pernah usai. Jika tak ada penyelesaian akan menjadi bom waktu dan bisa-bisa menimbulkan konflik sosial, ucap yang lain.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung Sumaindra Jarwadi menyatakan, unjuk rasa ini untuk menuntaskan kasus dugaan mafia tanah yang terjadi Desa Malangsari.
Di sini negara harus hadir. Bagaimana memberantas dugaan mafia tanah yang terjadi, kata Sumaindra yang mendampingi warga Desa Malangsari saat berunjuk rasa di Tugu Adipura, Bandar Lampung.
Sumaindra melanjutkan, warga Desa Malangsari juga akan menyampaikan dugaan adanya mafia tanah ke Kejagung dan Kementerian ATR/BPN. Warga juga telah melaporkan dugaan adanya pemalsuan sertifikat tanah. Tentunya berharap Polda Lampung bisa mengusut tuntas dugaan adanya mafia tanah ini. Kita sama-sama perangi mafia tanah, ujar Sumaindra.
Proses dugaan mafia tanah, jika melihat proses di Polres Lampung Selatan bahwa warga ditunjukkan beberapa dokumen. Ternyata ada dugaan pemalsuan dokumen, jelas sumaindra. Pemalsuaan tanda tangan. Salah satunya warga atas nama Mardiono yang sedang membuat laporan ke Polda Lampung. Bahkan ada pemalsuan tanda tangan orang yang sudah meninggal dunia. Kita dorong Polda Lampung menuntaskan kasus ini, terang Sumaindra.
Tanah yang dipersengketakan kata Sumaindra, seluas 10 hektare dengan sertifikat kepemilikan satu orang. Dari 10 hektare itu sudah ada sekitar 3 hektare yang menjadi rumah dan bangunan. Ada sekitar 33 kepala keluarga. Bahkan ada masjid yang masuk dalam sertifikat itu, ucap seorang warga.
Masyarakat menuntut hak tanah, tambahnya. karena merasa tidak pernah menjualnya.
Nggak pernah menjual tanah, Masyarakat juga melakukan penggarapan tanah secara sporadik. Masyarakat, sudah menggarap tanah itu sejak 1970. Masyarakat juga tak pernah mengetahui adanya proses pengukuran yang dilakukan oleh BPN. Ini aneh karena penerbitan sertifikat tanah itu kan ada aturannya. Ada cek lokasi dan pengukuran. Tiba - tiba pada 2020 muncul sertifikat atas nama seseorang, tambahnya.
(Putra)