Jakarta - Peristiwa unjuk rasa buruh di Prancis pada 8 Maret 1907 yang melibatkan banyak perempuan, dijadikan pijakan para intelektual Eropa untuk memperingati Hari Perempuan Internasional. Dalam konteks kekinian, perempuan harus diberdayakan untuk menyiapkan generasi unggul masa depan.
“Para perempuan saat ini telah meraih pendidikan tinggi dan mampu menjawab tuntutan profesional. Di sisi lain, perempuan memiliki kodrat melahirkan. Di sinilah Islam mengajarkan perempuan yang sholihah mampu merawat, dan membina menjadi generasi unggul,” ujar Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso.
Perempuan menempati tempat tersendiri dalam program kerja LDII. Menurut KH Chriswanto, sejak 1997, LDII Jawa Timur mengadakan seminar perempuan yang rutin, menghadirkan para psikolog keluarga, manajer keuangan, ahli kesehatan, hingga ahli gizi, “Perempuan yang berpengetahuan dan berwawasan dapat membina anak-anaknya dengan baik. Dengan demikian lahirlah generasi unggul,” tutur KH Chriswanto.
Perempuan memang tak sekadar memasak, membersihkan rumah, dan tugas-tugas lain sebagai istri. Mereka adalah manajer yang mengatur keuangan keluarga, “Tugas ini bertambah ketika perempuan juga memutuskan bekerja atau menjalankan aktivitas sosial. Untuk itu mereka harus mampu mengatur waktu, berbagi tugas dengan suami,” pungkasnya.
Hal senada disampaikan Ketua DPP LDII Siti Nurannisaa Paramabekti, perempuan merupakan sasaran program pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), “Artinya dalam pembangunan tak ada satupun yang tertinggal, termasuk wanita,” ujarnya.
Menurut Nisa, SDGs menempatkan perempuan sebagai salah satu sumberdaya manusia yang aktif berperan untuk memajukan diri, memperoleh pengetahuan, memperluas pemahaman, dan meningkatkan keterampilannya, “Bonus demografi juga menjadi tantangan untuk memanfaatkan perempuan usia produktif yang dapat menjadi modal dasar, khususnya dalam aspek pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan perekonomian,” pungkasnya.
Pada era internet seperti saat ini, Nisa menukil data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), UN Women, 37 persen wanita tidak menggunakan internet. 259 juta lebih sedikit perempuan yang memiliki akses ke internet dibandingkan laki-laki, walaupun jumlah mereka hampir setengah dari populasi dunia. Ia berpendapat peningkatan literasi digital bagi para perempuan, memungkinkan terbukanya peluang untuk membangun diri dan lingkungannya.
“Jika perempuan tidak memperoleh akses dan kontrol pada sumberdaya tersebut dan tidak memiliki kemampuan dalam penggunaannya, maka mereka tidak dapat mengembangkan keterampilan digitalnya,” kata Nisa. Padahal, menurutnya, kemampuan tersebut sangat penting untuk pengembangan diri, sekaligus menghadapi kehidupan masa depan, khususnya pada peran pendidikan bagi generasi digital native (mereka yang lahir di lingkungan era digital).
Untuk itu, pemerintah, ormas, dan keluarga, ia harapkan menjadikan perempuan berdaya. Agar mereka mampu mengambil keputusan, teguh memfokuskan diri, mengerahkan energi dan perhatiannya pada apa yang bisa dilakukan. Menurutnya, perempuan yang berdaya memiliki dampak ke banyak hal.
Pada peran keluarga misalnya, peran perempuan sebagai Ibu, “Al-ummu madrasatul ula” madrasah atau sekolah pertama bagi anaknya. Apabila para perempuan dipersiapkan sebelumnya, maka sama dengan telah mempersiapkan generasi terbaik. Pada lingkup ruang publik perempuan juga dapat berpartisipasi dalam tugas-tugas sosial di bidang kesehatan, ekonomi, kesejahteraan, lingkungan dan lainnya.
Pada perjalanannya memang ada beberapa hal yang perlu dikuatkan terlebih dahulu oleh diri perempuan itu sendiri. Pertama, perempuan harus menjadi sosok yang percaya diri, memiliki kemauan kuat dari dalam diri sendiri bahwa dirinya ingin maju. Mampu mengubah pola pikir diri sendiri, memiliki karakter membangun dengan keterlibatan dalam berbagai hal di lingkungannya. “Kedua, restu dan dukungan keluarga. Ketiga, saling menguatkan antar perempuan, memberikan inspirasi, serta berbagi cerita,” pungkasnya.